Summary :
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling lucu. Mereka
diberi Tuhan otak untuk berfikir, gravitasi untuk menarik mereka dan banyak
hal-hal istimewa yang diberikan Tuhan hanya kepada makhluk berakal tersebut.
Tapi, kebanyakan manusia malah memilih untuk membuang pemberian-pemberian
tersebut.
Sepasang otak di dalam tengkorak kepala mereka yang
memiliki keistimewaan untuk berfikir dan mengingat lebih dari yang bisa Kami
lakukan, justru malas untuk mereka gunakan.
Gravitasi yang menarik mereka justru mereka gunakan untuk
membuat diri mereka tidak tertarik lagi oleh gravitasi(re:bunuh diri). Ada juga
yang memanfaatkan gravitasi untuk menodai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam
tempat tinggal mereka(re:pengeboman).
Aku berfikir, jika aku bisa menjadi seorang manusia lagi,
apa itu akan menjadikan hidupku menarik? Tapi, sungguh. Aku ingin mendapatkan
salah satu jantung dari makhluk Tuhan teristimewa tersebut dan hidup sebagai
manusia yang memiliki akal dan nafsu.
Perkenalkan, aku Shim Hyunseong. Manusia yang gagal untuk
terlahir ke dunia kecil yang indah. Kau pasti mengerti dengan apa yang
kumaksudkan “gagal terlahir”, bukan? Ya, aku mati sesaat ketika aku dilahirkan.
Sungguh ironis, bukan? Aku diciptakan oleh-Nya dan kembali kepada-Nya bahkan
sebelum aku bisa melihat langit biru.
Jika banyak orang yang beranggapan, bayi yang mati saat
atau sebelum lahir maka ia dinyatakan masih suci dan ia akan langsung
dimasukkan kedalam Surga Tuhan yang besar dan indah. Sebenarnya, anggapan itu
tidaklah salah. Memang sesaat setelah jantungku tidak berdetak lagi, malaikat
turun untuk menuntun rohku. Membawaku ke tempat dimana seharusnya aku berada.
Tapi, sebuah keanehan terjadi. Aku tidak tau seperti apa atau bagaimana yang
terjadi padaku. Karena, ingatanku tentang hari itu ditutup oleh malaikat yang
mengasuhku, Kim Donghyun.
Takdir Tuhan tidak dapat ditentang, apalagi dirubah..
Tapi, bila hal itu terjadi….
FEEL LIFE, 1ST
CHAPTER
Gadis kecil yang lucu dan menggemaskan. Rambut hitamnya
yang panjang terurai dengan jepit berbentuk buah-buahan yang bersemat di sisi
kiri kepalanya agar tak menghalangi pandangannya. Dengan air liur yang nyaris
menetes di sudut bibirnya, gadis berumur 5tahun ini berjinjit supaya ia bisa
melihat apa yang dilakukan appa-nya di balik meja counter dapur. Wangi bawang
putih yang ditumis beserta bunyi-bunyi yang menandakan appa-nya sedang memasak
sesuatu di dapur, semakin menambah produksi air liur di dalam mulut gadis
mungil itu.
Ia semakin berjinjit agar setidaknya ia bisa melihat apa
yang dimasak appa-nya. Tubuhnya yang cukup mungil berbanding dengan meja
counter yang tingginya sekitar 150cm tak cukup membuat gadis itu bisa melihat
apa yang ia ingin lihat.
Hingga sebuah tangan terulur dangan lembut mengusap
puncak kepala gadis mungil itu. Alhasil, gadis itu mendongak dan tersenyum
senang sambil menaikkan kedua tangannya, isyarat agar wanita paruh baya
dihadapannya mau menggendongnya.
Wanita paruh baya tersebut sedikit tertawa geli lalu
mengangkat buah hatinya yang manis dan masih polos kedalam gendongannya.
“Eomma, appa masak apa? Baunya halum sekali.”, ucap gadis
mungil itu dengan mata yang berbinar-binar.
“Eomma juga tidak tau, Bora. Kita tunggu saja, nae?”,
jawab wanita paruh baya yang tak lain adalah eomma dari gadis mungil—Kwon Bora,
lembut dan menenangkan. Tangan wanita itu terangkat dan merapikan beberapa
helai rambut Bora yang nampak berantakan.
Bora mengangguk pasti lalu berteriak pada appa-nya, “Appa
halus masak yang enak, nae?”
“Appa akan masak cacing goreng untukmu, Bora sayang”,
balas appanya sambil terkekeh geli.
Kedua alis Bora terpaut sempurna. Matanya memancarkan
tatapan jijik ditambah dengan bibir mungil yang ia sedikit majukan. “Cacing
goleng itu menjijikkan. Bola tidak mau makan~!”, ucap Bora sedikit kesal. Tapi,
justru wajah kesalnya itu yang membuat orang-orang disekitarnya tertawa geli.
Pasalnya, wajah Bora saat sedang kesal sangat lucu dan semakin menggemaskan.
Sambil memindahkan masakan dari wajan penggorengan ke
dalam mangkuk kaca berukuran sedang, lelaki paruh baya yang dipanggil Bora
dengan sebutan ‘Appa’ tersebut berucap, “Apapun yang appa masak, jadinya pasti
akan enak.”
Bora semakin memajukan bibirnya. “Tapi cacing itu
menjijikkan, appa! Meleka hidup di tanah dan menggeliat-liat sepelti ulat.
Meleka itu licin dan menjijikkan. Eomma, aku tidak mau makan cacing..”, ucap
Bora merajuk menggemaskan.
Mengabaikan rajukan dari bibir bocah mungil tersebut,
Tuan Kwon berbalik dengan mangkuk kaca di tangannya. Sambil berjalan kearah
meja counter, lelaki paruh baya ini berucap dengan nada riang, “Makanan sudah
jadi~~ Silahkan dicicipi, Bora dan istriku tersayang~”
Kedua alis Bora yang sempat terpaut, terangkat sempurna
saat mangkuk yang dibawa appa-nya ada di atas meja counter. “Ini bukan cacing
goleng, appa! Ini mie goleng!”, ucap Bora senang saat melihat apa yang ada di
dalam mangkuk yang dibawa appanya. Dan yang pasti, itu bukanlah cacing goreng
-_-a
Keluarga kecil yang bahagia. Bahagia. Seperti kata itu bermakna
sementara dan sama sekali semu apabila berada dalam lingkungan yang juga semu.
Tawa, kegembiraan dan kesenangan. Seolah itu adalah hal yang paling disukai
oleh semua manusia. Makhluk yang polos. Mereka tertawa dan gembira, padahal
mereka tak tau apa yang akan terjadi setelahnya
12 Tahun Kemudian..
Melamun. Kata yang tepat untuk menggambarkan kegiatan
yang sering dilakukan oleh Jo Kwangmin, namja jangkung berambut hitam yang
tengah duduk santai di platform rumahnya. Langit malam yang biru bersih. Bintang
tampaknya sedang menghilang untuk sementara malam ini. Begitu juga bulan yang
entah mengapa tak nampak bahkan sekalipun hanya pancarannya.
Kosong. Kata yang tepat. Baik di langit malam maupun di
ruang dalam hati Kwangmin. Kosong, sepi dan hampa.
“Hyung, apa aku ini adalah orang yang paling bodoh di
dunia?”, tanya Kwangmin pada angin malam yang bertiup lembut. Otaknya memutar
kejadian yang dialaminya bersama hyung 6 menitnya—Jo Youngmin beberapa bulan
yang lalu.
Kepalanya menunduk, memandang bekas luka memanjang di
betis kirinya. Bekas luka yang mengingatkannya pada sebuah kecelakaan.
Kecelakaan yang membuatnya kehilangan satu-satunya saudara yang ia punya.
“Hyung, kalau saja waktu itu aku menuruti perkataanmu
untuk memeriksa mobil terlebih dahulu, mungkin sekarang ini kau akan disini.
Hyung, nan jeongmal bogoshipeoyo..”
Sebuah penyesalan selalu datang terakhir, bukan? Ketika
penyesalan itu datang, seseorang cenderung untuk berambisi kembali ke masa lalu
dan membuat penyesalan tak pernah ada. Jika itu terjadi, dimensi waktulah yang
paling berperan.
Membuat perjanjian kepada makhluk yang berbeda bentuk,
terkadang hanya akan memperolehkan kerugian. Begitu juga apa yang selalu ditawarkan oleh Shim
Hyunseong.
XXX
“Donghyun-ssi!”, panggil Hyunseong sambil melayang
mendekat.
Lelaki paruh baya yang dipanggil Hyunseong dengan nama
Donghyun tersebut berbalik lalu tersenyum pada orang yang memanggil namanya.
“Apa kabarmu, Shim Hyunseong? Lama tak bertemu.”, tanya Donghyun mencoba
membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Seperti yang kau lihat saat ini, Donghyun.”, jawab
Hyunseong singkat sambil tertawa pelan.
Donghyun ikut tertawa pelan. “Kau gagal lagi, eoh?
Sepertinya besar juga ya ambisimu..”, balas Donghyun.
“Kau taulah apa yang membuatku begitu berambisi seperti
ini.”, jawab Hyunseong ringan. Matanya mengarah pada seorang yeoja di Bumi yang
tengah berjalan santai.
Donghyun mengikui arah pandangan Hyunseong.”Apa yang
membuatmu begitu berambisi pada yeoja dibawah sana itu? Kufikir ia bisaa-bisaa
saja. Kecuali tentang takdir buruk yang menimpanya.”
Hyunseong tersenyum tipis. Senyum yang menggambarkan
kemirisan hatinya.
“Dia adalah yeoja yang hebat. Walau dalam waktu yang
bersamaan juga yeoja yang lemah. Entah kenapa, aku ingin berada disampingnya
dan menjadi sandarannya.”
Donghyun menolehkan kepalanya untuk menatap bola mata
anak asuhnya. Dalam diam, Donghyun menyelami fikiran Hyunseong lewat pancaran
matanya. Dan hasilnya cukup mengejutkan. Apa yang ada di dasar sana, hal yang
tidak disadari oleh Hyunseong.
“Kami, hampir tak ada satupun dari Kami, yang bisa
merasakan apa yang kau rasakan. Itu tentu, bukan? Kami terbuat dari cahaya,
sedangkan kau terbuat dari tanah yang dengan beruntungnya menjadai salah satu
dari cahaya. Aku penasaran, bagaimana rasanya berada di posisimu..”
Lagi-lagi, Hyunseong tertawa renyah. “Aku masih bingung
hingga saat ini. Mengapa kau memungutku waktu itu?”, tanya Hyunseong, tak
melepas perhatiannya sedikitpun dari seorang yeoja di bawah sana.
“Mengapa kau begitu ingin tau? Manusia kadang cenderung
untuk lebih baik tidak mengetahui masa lalu daripada nantinya masa lalu
tersebut menganggunya. Walaupun kau memang sudah bukan manusia lagi, tapi nafsu
manusia masih tertinggal di dalam tubuhmu.”, Donghyun sedikit memajukan tubuhnya
hingga kini dia berdiri beberapa langkah di depan Hyunseong.
“Seorang malaikat selalu berhati-hati atas apa yang
dilakukannya. Aku yakin kau juga termasuk tipikal malaikat yang seperti itu.
Tapi, melihat tindakanmu ini, kalau Tuhan mengetahuinya, aku yakin kau akan
dicap sebagai malaikat jatuh, Donghyun-ssi..”
“TIdak ada satu halpun di dunia ini yang tidak Tuhan
ketahui. Dunia yang megah ini adalah ciptaannya. Sangat lucu jika Tuhan tak tau
apa yang tengah dilakukan oleh ‘karya’nya. Karna toh, Dia yang
mengendalikannya.”
Hyunseong terdiam sejenak. Ia tengah berfikir tentang
serentetan kalimat yang akam membuat Donghyun membuka mulut tentang “hal itu”.
Dilihatnya, yeoja yang selama ini selalu menarik perhatiannya, yeoja itu
diikuti oleh beberapa namja yang secara cover dapat dilihat sebagai namja
nakal. Yeoja itu tidak menyadarinya dan tetap berjalan santai. Hingga saat ia
tepat membuka pintu kelasnya, guyuran tepung dan air menyiramnya begitu saja.
Namja nakal yang dibelakangnya, dengan gerakan cepat
mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ransel mereka dan melemparkannya ke arah
yeoja tadi. Benda itu adalah telur. Disambut dengan gelak tawa dari seluruh isi
kelas seolah hal memalukan itu adalah sebuah tontonan, namja-namja nakal yang
memang sudah merencanakan semua ini lalu bertos ria satu sama lain.
Hyunseong bergumam kesal melihat kejadian itu. “Manusia
yang berkelakuan seperti itu bahkan lebih buruk daripada iblis sekalipun.”,
komentar Hyunseong sebal. Jarang hal ini terjadi, hatinya terasa sedikit sakit
saat melihat yeoja itu berlari kecil sambil beruraian air mata dari tempatnya
tercengang yang tak lain di ambang pintu kelas tadi. Kemana? Tentu saja ke
toilet untuk membersihkan penampilannya yang memalukan.
Donghyun mengikuti arah pandangan Hyunseong. “Pasti
rasanya seperti makhluk terbodoh yang pernah diciptakan Tuhan, bukan?”, terka
Donghyun ringan.
Sebuah smirk terpasang di bibir Hyunseong. “Itulah
mengapa aku begitu berambisi tentang
jantung manusia. Aku tak igin kejadian seperti ini atau mungkin saja yang lebih
buruk terjadi padanya.”
Donghyun tertawa ringan lalu menepuk pundak Hyunseong
menenangkan. “Kau pasti tau apa yang tengah kau hadapi. Bersiap-siaplah dengan
segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku akan membantumu sebisaku. Mengenai masa
lalu itu, aku akan memberitaukannya nanti.
Tidak sekarang.”
Hyunseong menatap punggung Donghyun yang bersemat
sepasang sayap putih dan tengah mengembang untuk membawanya pergi. Ia tahu,
makhluk Tuhan yang satu itu memang tak bisa dibilang terlampau mudah untuk
dibujuk.
XXX
Sepasang mata, yang tengah menatap kepergian seorang
yeoja yang dianggap sebagai tontonan oleh seisi kelas. Rasa iba dan kasihan
terpancar dari kedua bola matanya. Dan lagi, ia kembali menyalahkan dirinya
sendiri atas apa yang baru saja terjadi.
Jika saja Jo Youngmin tidak mati atas kecelakaan yang
menimpa mereka, suasana kelas yang bising tak akan pernah ada. Tak ada
seorangpun penghuni K HighSchool yang yang berani menentangnya. Termasuk para
guru bahkan dewan sekolah juga. Namja pemegang sabuk hitam Taekwondo yang
sekaligus bernota-bane sebagai anak pengacara terkenal dan termahal di seluruh
Asia, siswa yang paling disegani.
Lalu, bagaimana dengan Jo Kwangmin sendiri? Tidak, kau
salah jika beranggapan bahwa Kwangmin adalah kebalikan dari Youngmin. Kwangmin
pun sama hebatnya dengan Youngmin. Hal ini yang membuat fenomena tersendiri di
K HighSchool. ‘Anak Kembar yang Disegani’, begitulah kalimat kerennya.
Lantas, jika itu memang benar adanya, mengapa ia harus
menyesali atas kepergian Youngmin? Toh ia juga pemegang sabuk hitam Taekwondo.
Tentu saja Kwangmin bisa menertibkan siapapun di sekolah ini, kalau dia mau.
Itulah letak kelemahannya. Kemauan dari dalam dirinya tergantung pada seberapa
besar orang terdekatnya yang mempercayainya.
Jo Youngmin adalah Hyung 6 menitnya sekaligus orang yang
palingg dekat dengannya. Bagi Kwangmin, Youngmin adalah satu-satunya harta yang
ia punya. Satu-satunya penyemangatnya.
Entah ada angin apa, Kwangmin menggebrak mejanya sambil
berdiri. Spontan, seluruh isi kelas menjadi hening. Beberapa siswa yang sempat
mengobrol dengan temannya menghentikan aktifitasnya dan duduk manis menghadap
ke depan. Dengan cepat dan takut, petugas piket kelas hari ini langsung
beranjak dan membereskan kerusuhan 2menit yang lalu.
Kwangmin berjalan ke arah pintu. Namun, ia berhenti
sebentar tepat sebelum ia sempat keluar. Memandang hasil kerusuhan 2menit yang
lalu dengan tatapan jijik. Lalu menendang ember didekatnya dengan sedikit
sebal. Yang menghasilkan tatapan takut dari kedua petugas piket yang tengah
membersihkan kerusuhan tersebut.
“Jo Kwangmin is back”, bisik beberapa orang dikelas
sesaat setelah Kwangmin keluar meninggalkan kelas.
“Setelah cukup lama Youngmin pergi, kenapa baru sekarang
Kwangmin kembali? Apa yang terjadi?”, bisik beberapa orang lagi.
“Iya, aneh sekali. Kenapa Kwangmin sebegitu lamanya untuk
merelakan Youngmin?”
“Atau jangan-jangan, Kwangmin yang menyebabkan kecelakaan
itu?”
“Apa? Itu kan tak mungkin..”
“Hei, hei. Cukup. Kalau pembicaraan kalian sampai
didengar Kwangmin, kita semua bisa mati.”
Begitulah desas desus yang sempat terdengar sesaat
setelah Kwangmin pergi dari kelas.
Tbc…