6.12.13

Feel Alive (Chap 1)



Summary :
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling lucu. Mereka diberi Tuhan otak untuk berfikir, gravitasi untuk menarik mereka dan banyak hal-hal istimewa yang diberikan Tuhan hanya kepada makhluk berakal tersebut. Tapi, kebanyakan manusia malah memilih untuk membuang pemberian-pemberian tersebut.

Sepasang otak di dalam tengkorak kepala mereka yang memiliki keistimewaan untuk berfikir dan mengingat lebih dari yang bisa Kami lakukan, justru malas untuk mereka gunakan.
Gravitasi yang menarik mereka justru mereka gunakan untuk membuat diri mereka tidak tertarik lagi oleh gravitasi(re:bunuh diri). Ada juga yang memanfaatkan gravitasi untuk menodai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam tempat tinggal mereka(re:pengeboman).

Aku berfikir, jika aku bisa menjadi seorang manusia lagi, apa itu akan menjadikan hidupku menarik? Tapi, sungguh. Aku ingin mendapatkan salah satu jantung dari makhluk Tuhan teristimewa tersebut dan hidup sebagai manusia yang memiliki akal dan nafsu.

Perkenalkan, aku Shim Hyunseong. Manusia yang gagal untuk terlahir ke dunia kecil yang indah. Kau pasti mengerti dengan apa yang kumaksudkan “gagal terlahir”, bukan? Ya, aku mati sesaat ketika aku dilahirkan. Sungguh ironis, bukan? Aku diciptakan oleh-Nya dan kembali kepada-Nya bahkan sebelum aku bisa melihat langit biru.

Jika banyak orang yang beranggapan, bayi yang mati saat atau sebelum lahir maka ia dinyatakan masih suci dan ia akan langsung dimasukkan kedalam Surga Tuhan yang besar dan indah. Sebenarnya, anggapan itu tidaklah salah. Memang sesaat setelah jantungku tidak berdetak lagi, malaikat turun untuk menuntun rohku. Membawaku ke tempat dimana seharusnya aku berada. Tapi, sebuah keanehan terjadi. Aku tidak tau seperti apa atau bagaimana yang terjadi padaku. Karena, ingatanku tentang hari itu ditutup oleh malaikat yang mengasuhku, Kim Donghyun.






Takdir Tuhan tidak dapat ditentang, apalagi dirubah..




Tapi, bila hal itu terjadi….





FEEL LIFE, 1ST CHAPTER

Gadis kecil yang lucu dan menggemaskan. Rambut hitamnya yang panjang terurai dengan jepit berbentuk buah-buahan yang bersemat di sisi kiri kepalanya agar tak menghalangi pandangannya. Dengan air liur yang nyaris menetes di sudut bibirnya, gadis berumur 5tahun ini berjinjit supaya ia bisa melihat apa yang dilakukan appa-nya di balik meja counter dapur. Wangi bawang putih yang ditumis beserta bunyi-bunyi yang menandakan appa-nya sedang memasak sesuatu di dapur, semakin menambah produksi air liur di dalam mulut gadis mungil itu.

Ia semakin berjinjit agar setidaknya ia bisa melihat apa yang dimasak appa-nya. Tubuhnya yang cukup mungil berbanding dengan meja counter yang tingginya sekitar 150cm tak cukup membuat gadis itu bisa melihat apa yang ia ingin lihat.

Hingga sebuah tangan terulur dangan lembut mengusap puncak kepala gadis mungil itu. Alhasil, gadis itu mendongak dan tersenyum senang sambil menaikkan kedua tangannya, isyarat agar wanita paruh baya dihadapannya mau menggendongnya.

Wanita paruh baya tersebut sedikit tertawa geli lalu mengangkat buah hatinya yang manis dan masih polos kedalam gendongannya.
“Eomma, appa masak apa? Baunya halum sekali.”, ucap gadis mungil itu dengan mata yang berbinar-binar.

“Eomma juga tidak tau, Bora. Kita tunggu saja, nae?”, jawab wanita paruh baya yang tak lain adalah eomma dari gadis mungil—Kwon Bora, lembut dan menenangkan. Tangan wanita itu terangkat dan merapikan beberapa helai rambut Bora yang nampak berantakan.

Bora mengangguk pasti lalu berteriak pada appa-nya, “Appa halus masak yang enak, nae?”

“Appa akan masak cacing goreng untukmu, Bora sayang”, balas appanya sambil terkekeh geli.

Kedua alis Bora terpaut sempurna. Matanya memancarkan tatapan jijik ditambah dengan bibir mungil yang ia sedikit majukan. “Cacing goleng itu menjijikkan. Bola tidak mau makan~!”, ucap Bora sedikit kesal. Tapi, justru wajah kesalnya itu yang membuat orang-orang disekitarnya tertawa geli. Pasalnya, wajah Bora saat sedang kesal sangat lucu dan semakin menggemaskan.


Sambil memindahkan masakan dari wajan penggorengan ke dalam mangkuk kaca berukuran sedang, lelaki paruh baya yang dipanggil Bora dengan sebutan ‘Appa’ tersebut berucap, “Apapun yang appa masak, jadinya pasti akan enak.”

Bora semakin memajukan bibirnya. “Tapi cacing itu menjijikkan, appa! Meleka hidup di tanah dan menggeliat-liat sepelti ulat. Meleka itu licin dan menjijikkan. Eomma, aku tidak mau makan cacing..”, ucap Bora merajuk menggemaskan.

Mengabaikan rajukan dari bibir bocah mungil tersebut, Tuan Kwon berbalik dengan mangkuk kaca di tangannya. Sambil berjalan kearah meja counter, lelaki paruh baya ini berucap dengan nada riang, “Makanan sudah jadi~~ Silahkan dicicipi, Bora dan istriku tersayang~”

Kedua alis Bora yang sempat terpaut, terangkat sempurna saat mangkuk yang dibawa appa-nya ada di atas meja counter. “Ini bukan cacing goleng, appa! Ini mie goleng!”, ucap Bora senang saat melihat apa yang ada di dalam mangkuk yang dibawa appanya. Dan yang pasti, itu bukanlah cacing goreng -_-a

Keluarga kecil yang bahagia. Bahagia. Seperti kata itu bermakna sementara dan sama sekali semu apabila berada dalam lingkungan yang juga semu. Tawa, kegembiraan dan kesenangan. Seolah itu adalah hal yang paling disukai oleh semua manusia. Makhluk yang polos. Mereka tertawa dan gembira, padahal mereka tak tau apa yang akan terjadi setelahnya



12 Tahun Kemudian..

Melamun. Kata yang tepat untuk menggambarkan kegiatan yang sering dilakukan oleh Jo Kwangmin, namja jangkung berambut hitam yang tengah duduk santai di platform rumahnya. Langit malam yang biru bersih. Bintang tampaknya sedang menghilang untuk sementara malam ini. Begitu juga bulan yang entah mengapa tak nampak bahkan sekalipun hanya pancarannya.

Kosong. Kata yang tepat. Baik di langit malam maupun di ruang dalam hati Kwangmin. Kosong, sepi dan hampa.

“Hyung, apa aku ini adalah orang yang paling bodoh di dunia?”, tanya Kwangmin pada angin malam yang bertiup lembut. Otaknya memutar kejadian yang dialaminya bersama hyung 6 menitnya—Jo Youngmin beberapa bulan yang lalu.

Kepalanya menunduk, memandang bekas luka memanjang di betis kirinya. Bekas luka yang mengingatkannya pada sebuah kecelakaan. Kecelakaan yang membuatnya kehilangan satu-satunya saudara yang ia punya.

“Hyung, kalau saja waktu itu aku menuruti perkataanmu untuk memeriksa mobil terlebih dahulu, mungkin sekarang ini kau akan disini. Hyung, nan jeongmal bogoshipeoyo..”

Sebuah penyesalan selalu datang terakhir, bukan? Ketika penyesalan itu datang, seseorang cenderung untuk berambisi kembali ke masa lalu dan membuat penyesalan tak pernah ada. Jika itu terjadi, dimensi waktulah yang paling berperan.

Membuat perjanjian kepada makhluk yang berbeda bentuk, terkadang hanya akan memperolehkan kerugian. Begitu juga  apa yang selalu ditawarkan oleh Shim Hyunseong.


XXX


“Donghyun-ssi!”, panggil Hyunseong sambil melayang mendekat.

Lelaki paruh baya yang dipanggil Hyunseong dengan nama Donghyun tersebut berbalik lalu tersenyum pada orang yang memanggil namanya. “Apa kabarmu, Shim Hyunseong? Lama tak bertemu.”, tanya Donghyun mencoba membuka pembicaraan terlebih dahulu.

“Seperti yang kau lihat saat ini, Donghyun.”, jawab Hyunseong singkat sambil tertawa pelan.

Donghyun ikut tertawa pelan. “Kau gagal lagi, eoh? Sepertinya besar juga ya ambisimu..”, balas Donghyun.

“Kau taulah apa yang membuatku begitu berambisi seperti ini.”, jawab Hyunseong ringan. Matanya mengarah pada seorang yeoja di Bumi yang tengah berjalan santai.

Donghyun mengikui arah pandangan Hyunseong.”Apa yang membuatmu begitu berambisi pada yeoja dibawah sana itu? Kufikir ia bisaa-bisaa saja. Kecuali tentang takdir buruk yang menimpanya.”

Hyunseong tersenyum tipis. Senyum yang menggambarkan kemirisan hatinya.
“Dia adalah yeoja yang hebat. Walau dalam waktu yang bersamaan juga yeoja yang lemah. Entah kenapa, aku ingin berada disampingnya dan menjadi sandarannya.”

Donghyun menolehkan kepalanya untuk menatap bola mata anak asuhnya. Dalam diam, Donghyun menyelami fikiran Hyunseong lewat pancaran matanya. Dan hasilnya cukup mengejutkan. Apa yang ada di dasar sana, hal yang tidak disadari oleh Hyunseong.
“Kami, hampir tak ada satupun dari Kami, yang bisa merasakan apa yang kau rasakan. Itu tentu, bukan? Kami terbuat dari cahaya, sedangkan kau terbuat dari tanah yang dengan beruntungnya menjadai salah satu dari cahaya. Aku penasaran, bagaimana rasanya berada di posisimu..”

Lagi-lagi, Hyunseong tertawa renyah. “Aku masih bingung hingga saat ini. Mengapa kau memungutku waktu itu?”, tanya Hyunseong, tak melepas perhatiannya sedikitpun dari seorang yeoja di bawah sana.

“Mengapa kau begitu ingin tau? Manusia kadang cenderung untuk lebih baik tidak mengetahui masa lalu daripada nantinya masa lalu tersebut menganggunya. Walaupun kau memang sudah bukan manusia lagi, tapi nafsu manusia masih tertinggal di dalam tubuhmu.”, Donghyun sedikit memajukan tubuhnya hingga kini dia berdiri beberapa langkah di depan Hyunseong.

“Seorang malaikat selalu berhati-hati atas apa yang dilakukannya. Aku yakin kau juga termasuk tipikal malaikat yang seperti itu. Tapi, melihat tindakanmu ini, kalau Tuhan mengetahuinya, aku yakin kau akan dicap sebagai malaikat jatuh, Donghyun-ssi..”

“TIdak ada satu halpun di dunia ini yang tidak Tuhan ketahui. Dunia yang megah ini adalah ciptaannya. Sangat lucu jika Tuhan tak tau apa yang tengah dilakukan oleh ‘karya’nya. Karna toh, Dia yang mengendalikannya.”

Hyunseong terdiam sejenak. Ia tengah berfikir tentang serentetan kalimat yang akam membuat Donghyun membuka mulut tentang “hal itu”. Dilihatnya, yeoja yang selama ini selalu menarik perhatiannya, yeoja itu diikuti oleh beberapa namja yang secara cover dapat dilihat sebagai namja nakal. Yeoja itu tidak menyadarinya dan tetap berjalan santai. Hingga saat ia tepat membuka pintu kelasnya, guyuran tepung dan air menyiramnya begitu saja.
Namja nakal yang dibelakangnya, dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ransel mereka dan melemparkannya ke arah yeoja tadi. Benda itu adalah telur. Disambut dengan gelak tawa dari seluruh isi kelas seolah hal memalukan itu adalah sebuah tontonan, namja-namja nakal yang memang sudah merencanakan semua ini lalu bertos ria satu sama lain.

Hyunseong bergumam kesal melihat kejadian itu. “Manusia yang berkelakuan seperti itu bahkan lebih buruk daripada iblis sekalipun.”, komentar Hyunseong sebal. Jarang hal ini terjadi, hatinya terasa sedikit sakit saat melihat yeoja itu berlari kecil sambil beruraian air mata dari tempatnya tercengang yang tak lain di ambang pintu kelas tadi. Kemana? Tentu saja ke toilet untuk membersihkan penampilannya yang memalukan.

Donghyun mengikuti arah pandangan Hyunseong. “Pasti rasanya seperti makhluk terbodoh yang pernah diciptakan Tuhan, bukan?”, terka Donghyun ringan.

Sebuah smirk terpasang di bibir Hyunseong. “Itulah mengapa aku begitu  berambisi tentang jantung manusia. Aku tak igin kejadian seperti ini atau mungkin saja yang lebih buruk terjadi padanya.”

Donghyun tertawa ringan lalu menepuk pundak Hyunseong menenangkan. “Kau pasti tau apa yang tengah kau hadapi. Bersiap-siaplah dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku akan membantumu sebisaku. Mengenai masa lalu itu, aku akan memberitaukannya nanti.  Tidak sekarang.”

Hyunseong menatap punggung Donghyun yang bersemat sepasang sayap putih dan tengah mengembang untuk membawanya pergi. Ia tahu, makhluk Tuhan yang satu itu memang tak bisa dibilang terlampau mudah untuk dibujuk.

XXX

Sepasang mata, yang tengah menatap kepergian seorang yeoja yang dianggap sebagai tontonan oleh seisi kelas. Rasa iba dan kasihan terpancar dari kedua bola matanya. Dan lagi, ia kembali menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang baru saja terjadi.
Jika saja Jo Youngmin tidak mati atas kecelakaan yang menimpa mereka, suasana kelas yang bising tak akan pernah ada. Tak ada seorangpun penghuni K HighSchool yang yang berani menentangnya. Termasuk para guru bahkan dewan sekolah juga. Namja pemegang sabuk hitam Taekwondo yang sekaligus bernota-bane sebagai anak pengacara terkenal dan termahal di seluruh Asia, siswa yang paling disegani.

Lalu, bagaimana dengan Jo Kwangmin sendiri? Tidak, kau salah jika beranggapan bahwa Kwangmin adalah kebalikan dari Youngmin. Kwangmin pun sama hebatnya dengan Youngmin. Hal ini yang membuat fenomena tersendiri di K HighSchool. ‘Anak Kembar yang Disegani’, begitulah kalimat kerennya.

Lantas, jika itu memang benar adanya, mengapa ia harus menyesali atas kepergian Youngmin? Toh ia juga pemegang sabuk hitam Taekwondo. Tentu saja Kwangmin bisa menertibkan siapapun di sekolah ini, kalau dia mau. Itulah letak kelemahannya. Kemauan dari dalam dirinya tergantung pada seberapa besar orang terdekatnya yang mempercayainya.

Jo Youngmin adalah Hyung 6 menitnya sekaligus orang yang palingg dekat dengannya. Bagi Kwangmin, Youngmin adalah satu-satunya harta yang ia punya. Satu-satunya penyemangatnya.

Entah ada angin apa, Kwangmin menggebrak mejanya sambil berdiri. Spontan, seluruh isi kelas menjadi hening. Beberapa siswa yang sempat mengobrol dengan temannya menghentikan aktifitasnya dan duduk manis menghadap ke depan. Dengan cepat dan takut, petugas piket kelas hari ini langsung beranjak dan membereskan kerusuhan 2menit yang lalu.

Kwangmin berjalan ke arah pintu. Namun, ia berhenti sebentar tepat sebelum ia sempat keluar. Memandang hasil kerusuhan 2menit yang lalu dengan tatapan jijik. Lalu menendang ember didekatnya dengan sedikit sebal. Yang menghasilkan tatapan takut dari kedua petugas piket yang tengah membersihkan kerusuhan tersebut.

“Jo Kwangmin is back”, bisik beberapa orang dikelas sesaat setelah Kwangmin keluar meninggalkan kelas.

“Setelah cukup lama Youngmin pergi, kenapa baru sekarang Kwangmin kembali? Apa yang terjadi?”, bisik beberapa orang lagi.

“Iya, aneh sekali. Kenapa Kwangmin sebegitu lamanya untuk merelakan Youngmin?”

“Atau jangan-jangan, Kwangmin yang menyebabkan kecelakaan itu?”

“Apa? Itu kan tak mungkin..”

“Hei, hei. Cukup. Kalau pembicaraan kalian sampai didengar Kwangmin, kita semua bisa mati.”

Begitulah desas desus yang sempat terdengar sesaat setelah Kwangmin pergi dari kelas.

Tbc…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar